Sudirman Said (58) mengemban amanahnya di tengah kebersahajaan demi mengopeni kemanusiaan. Jauh dari dinamisnya politik dan eksklusivitas korporat yang dulu ia akrabi. Sekretaris Jenderal PMI itu harus luwes merangkul kerabat kerjanya dengan mengasah kepekaan.
Sudirman sejenak tertegun saat seorang staf sekonyong-konyong memasuki ruangannya di Jakarta. Ia dengan tergesa-gesa membuka pintu lalu menerobos begitu saja. Padahal, Sudirman sedang menerima tamu. ”Asalamualaikum. Sori. Boleh ke sini? Ini penting sekali dengan beliau,” ucap pria paruh baya itu di pengujung Oktober 2021.
Sekejap, Sudirman sudah menguasai diri. Ia menjawab salam sambil tersenyum dan menyambut stafnya. Tak sampai 5 menit, urusan sudah rampung. ”Saya selalu cari beliau ke mana-mana. Enggak apa-apa, ya. Bahas laporan tahunan,” ujar staf tersebut setengah nyerocos sebelum berlalu.
Begitulah, menurut mantan profesional yang pernah malang melintang di berbagai BUMN papan atas itu, perbedaannya dengan iklim perusahaan. ”Di organisasi sosial seperti PMI, orang sangat beragam. Niat sama, mengabdi kepada kemanusiaan. Kita harus bisa merangkul semua warna. Semua karakter,” ucapnya.
Tanggung jawab di PMI begitu besar, tetapi otoritasnya terbatas. Sentralistik ego berikut kegusarannya harus dikubur dalam-dalam. ”Gabung PMI bukan untuk uang dan kekuasaan. Pasti dilandasi dorongan terbesar pengin jadi pelayan. Penolong kemanusiaan,” katanya.
Jauh berbeda dibandingkan dengan profesional yang berorientasi profit, pendekatan kali ini didasari hati nurani. Jangan harap berebut rezeki dan jabatan di PMI. ”Apakah orang enggak punya perbedaan? Punya. Tersinggung sekali-sekali? Ya. Tetap ada yang begitu. Kayak, kok, saya dilewatin,” katanya.
Sudirman harus ndlosor lagi, istilah Jawa yang ia ungkapkan untuk meluncur turun. Mereka yang pernah berperangai tak mengenakkan malah disowani ke kantornya. ”Niat saya buat sebanyak-banyaknya kebaikan. Kalau ada yang punya pandangan lain, itu urusan mereka,” katanya.
Kepala batu
Kiprah Sudirman memang sangat berliku-liku. Publik mulai mengenal penggila buku itu lewat Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) yang dibentuk pada 1998. Dukungan para sejawat yang mengantar ia mengetuai MTI sejatinya turut mengukuhkan kepala batu Sudirman soal antikorupsi. Mereka terus menggedor pemerintah mempercepat pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus-kasus besar tak henti pula dikawal.
Sepak terjang Sudirman selanjutnya menggawangi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Di tengah kekisruhan keamanan disusul tsunami yang memorak-porandakan, kesepakatan damai Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dirintis. ”Waktu itu sebenarnya masih konflik. Otoritas nyamperin GAM ke gunung. Saya juga datang ke penjara. Perjanjian akhirnya ditandatangani, tahun 2005,” ucapnya.
Deputi Komunikasi dan Hubungan Kelembagaan BRR Aceh-Nias itu lantas mengalihkan perhatiannya ke Pertamina. Kerikil-kerikil tajam merintangi saat ia dicopot dari jabatannya sebagai Deputi Direktur Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina. Badan yang mengelola impor minyak tersebut didirikan tak lama berselang dengan hiruk pikuk kasus impor minyak zatapi, tetapi baru sekitar 6 bulan sesudahnya Sudirman sudah terpental pada Maret 2009.
Ia kembali wira-wiri di perseroan bonafide hingga ditarik masuk kabinet. Baru dua tahun, turbulensi politik lagi-lagi menerpa saat tongkat estafet memimpin Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) harus dioper kepada Arcandra Tahar pada 2016. Sebelumnya, Sudirman melaporkan anggota legislatif yang meminta saham PT Freeport Indonesia.
Ulah itu lantas memicu kegaduhan gara-gara menyeret Ketua DPR Setya Novanto dengan idiom satir yang viral, ”papa minta saham”. Sudirman malah terkesan melenggang seusai reshuffle lewat status medsosnya, ”Alhamdulillah, tugas besar selesai. Ladang amal & perjuangan makin lebar. Jangan pernah lelah mencintai Indonesia yang hebat ini. Thx semua”. Sesantai itu pula ia menanggapi persepsi mereka yang menganggapnya orang pecatan atau kalahan.
”Enggak ada hubungannya. Lebih karena sekarang ngurus kemanusiaan. Pandangan bisa beda. Saya benar bukan berarti enggak ada yang nyalahin. Dihantui? Enggaklah,” katanya. Ia rileks saja lantaran hasratnya menggeluti pendidikan tercurahkan dengan mengajar di Politeknik Harapan Bersama Tegal dan almamaternya, STAN.
”Anak bungsu saya bilang, ’Thanks God, Papaku jadi manusia lagi.’ Artinya, kalau pegang jabatan publik, waktu pribadi dan privasi enggak ada,” katanya. Ia disambut kembali sebagai anggota keluarga. Ayah yang letih seusai ngantor dan ingin makan dengan tenang.
”Presiden tinggal di istana. Menteri di rumah dinas. Itu simbol hidup mereka 24 jam untuk negara. Kalau sekarang, enggak sesesak dan sekaku menteri,” ujarnya. Waktu pribadi Sudirman dengan urusan publik kini imbang. Ia sesekali menikmati makan keluar bersama keluarga.
”Nyambut ente”
Bakti Sudirman kepada PMI berawal saat ditelepon Jusuf Kalla. Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI yang kerap disapa JK itu terpilih kembali sebagai ketua umum PMI. ”Pak JK tanya, Man, bantu saya, ya? Saya jawab, oh, iya Pak. Pak JK mau saya jadi sekjen,” katanya.
Sudirman yang sungkan awalnya menolak. Masih banyak tokoh yang ia yakini lebih kredibel dan berhasrat menduduki jabatan itu. ”Kami memang pernah ngobrol soal minat saya gabung PMI. Namun, kalau sekjen, janganlah. Kata Pak JK, enggak, sudah dibicarakan dengan formatur. Ya, sudah. Bismillah,” katanya.
Ia mengaku orang yang agak aneh. Sudirman sungguh risi dengan protokol berlebihan hingga beberapa pengalamannya mengundang senyum. ”Waktu jadi menteri ke Jambi, ada yang main musik dan menari. Saya tanya staf khusus, itu nyambut siapa? Katanya, ya, nyambut ente, bro,” ujarnya sambil tertawa.
Lain waktu, Sudirman berkunjung ke Bali. Mobil berhenti dan ia sudah bersiap saja melompat untuk turun, tetapi ditahan stafnya. ”Di depan ada orang-orang. Ternyata, pengin nyambut menteri. Mereka sudah setengah hari nunggu. Saya sebenarnya lebih senang enggak lewat VIP (jalur istimewa),” katanya.
Sudirman enteng saja dengan kantor, fasilitas, dan seremonial yang tak lagi muluk. Ia mensyukuri untuk terus menjadi insan yang galib. ”Banyak yang takut jadi orang biasa. Saya malah takut jadi orang tak biasa. Semua akhirnya akan menjadi individu kebanyakan,” katanya.
Ia sudah akrab dengan hidup yang jauh dari menara gading. Kesukaran yang kerap merundung pada masa lalu melecutkan empati Sudirman. ”Saya tinggal sama kakak. Orangtua saya susah. Saya ngenger, dititipkan sambil bantu-bantu dari umur 4 tahun sampai lulus SMA,” ucapnya.