Matinya Jiwa Dalam Musrembang Kotamadya Jakarta Utara

2 mins read

Kali pertama saya mengikuti musrembang kotamadya Jakarta Utara, sebab diutus salah satu teman untuk mewakili lembaganya yang mendapatkan undangan dari wali kota. Alhasil prediksi memang benar sebagaimana cerita cerita. Ternyata kebanyakan hampir memikirkan yang tidak esensi, hanya sebatas kulit dan sibuk ngurusi perabotan, furnitur dan alat kantor lainnya. Padahal uang rakyat yang selalu digunakannya.

Dari hampir semua pemaparan dan pernyataan yang diusulkan semua sudin sama sekali tak menyentuh persoalan jiwa dan filosofi. Gagasan kelas receh, tanpa bobot, bibit dan membawa bebetnya. Tanpa mempertimbangkan dampak turunan. Hanya raga, yang tanpa peduli jiwanya. Berbasis industri, yang orentasinya selalu pengadaan barang dan beraifat kapitalistik.

Memang abdi rakyat yang aneh bin ajaib. Tanpa ada besik ideologis dan punya ruh kedalaman dalam menata kota. Sehingga semua usulan cenderung dangkal tanpa punya cakupan luas dan dalam. Termasuk maaf, narsumnya. Sehingga yang terjadi adalah usulan yang bertumpu pada keinginan karbitan. Iming iming berbasisi keinginan liar. Bukan atas dasar dari dorongan keinginan luhur.

Dihari pertama pertemuan musrembang adalah waktu seremonial. Tentunya semua peserta diminta duduk manis dan mendengarkan. Pidato-pidato sepertinya kurang kajian. Cenderung bercanda, tanpa ada spirit kehikmatan. Setelah duduk, mendengarkan, tepuk tangan, selesai dan pulang.

Di hari keduanya kami dibagi kelompok sesuai claster usulan. Ada bidang kesejahteraan, pemerintahan dan pembangunan ekonomi. Karna amanah yang mengutus saya supaya masuk dalam bidang pembangunan agar bisa menyampaikan persoalan kemacetan dan dampak amdalnya. Sayapun akhirnya masuk dalam kelompok tersebut. Disana ada sudin pertanian, pariwisata, kelola aset, tenaga kerja dan lain sebagainya.

Semua peserta khusunya para jajaran sudinlah yang diberi prioritas untuk mempresetasikan program programanya di tahun anggaran 2025. Tibalah pada kesempatan untuk dibuka masukan dan usulan bagi peserta diluar kesudinan. Mungkin karna saya orang asing, tak terlalu dikenal mereka. Konsekwensinya dilewati begitu saja, tanpa diberi kesempatan bertanya atau sekedar memberi tanggapan atau masukan. Sebagaimana kesempatan yang diberikan peserta non kedinasan lainnya.

Baca :  Kejagung masih telusuri aset 16 tersangka timah

Lagi lagi ceritanya sebagaimana di hari pertama. Datang, absen tulis nama, asal lembaga, no HP dan tandatangan. Kemudin dipersilahkan masuk dan duduk di kursi-kursi yang sudah disediakan. Sambil menunggu yang lain. Saya memandangi satu persatu peserta lainnya. Akhirnya acara dimulai dan disuruh mendengar, hingga selesai dan kembali pulang. Dengan alasan hari jumat, padahal jadwal yang diiberikan musrembang dilanjut setelah jumatan.

Di hari ketiga, hari terakhir sebagaimana jadwal yang ditentukan. Saya datang agak sedikit telat kurang lebih sekitar 10 menit sejak acara dimulai. Maklum efek sering bergadang dan tidur di pagi hari sebagaimana kebiasaan.

Acarapun saya dengarkan dengan mencoba untuk bertahan agar tidak ngantuk. Agar saya tidak dianggap sebagaimana petugas sudin yang sempat tertidur pada saat musrengbang dihari kedua dilaksanakan.

Secara bergantian semua sudin menyampaikan programnya yang diajukan kepada pimpinan musrembang. Hampir semua menurut kacamata saya yang awam sangat kurang berbobot, tidak ada gagasan yang dahsyat. Semua normatif dan seolah olah hanya sekedar menghabiskan anggaran. Tidak ada ruh perubahan dalam membangun peradaban Jakarta menjadi lebih baik. Apalagi sampai menyinggung persoalan kemacetan dan ada unsur yang progresif revolusionernya. Intinya semua jauh dari harapan.

Pada sesi terakhir, peserta non kedinasan kembali diberi kesempatan. Yang dikasih kesempatan pertama sebagaimana pada hari kedua yakni dari kalangan difabel, kemudian pemuda milenial, kadin masing-masing menyampaikan aspirasinya.

Karna dianggap selesai akhirnya rapat pada waktu itu mau ditutup oleh pimpinan rapat. Akhirnya saya mengacungkan diri dan berbicara banyak hal. Dari persoalan kemacetan dan amdalnya, sungai yang tak ada ikannya tapi penduduknya masih merasa pemeluk agama yang rahmatan lil alamin dan seterusnya.

Baca :  Relawan Ungkap Isi Pertemuan dengan Jokowi di Istana, Obrolan Serius?

Termasuk berbicara konsep manusia sebagai wakil utusan. Namun aspirasi mahkluk Tuhan lainnya tak pernah didengar apalagi dibantu diwujudkan. Termasuk saya menyinggung terkait potensi dan persolan samudra sebagai tempat sumber rahmat yang menghadirkan hujan. Seharusnya bisa juga dijadikan spirit dalam membangun gagasan pembangunan.

Saya tidak tahu, mereka menangkap apa tidak yang saya sampaikan. Sebab nilai semiotika terkadang keluar dari ucapan. Terutama menyampaikan potensi dasar manusia yang kawin dengan sumber daya alam nya guna melahirkan anak-anak kebudayaan dan peradaban.

Anehnya tema besar merespon Jakarta menjadi daerah khusus sekaligus hendak membangun desain dan konsep kota global sama sekali tidak terejawab dalam program-program yang di usulkan dalam musrembang tersebut.

Tentunya pada saat saya berbicara semua mata pada melihat saya. Setelah selesai akhirnya langsung ditutup oleh pemimpin rapatnya. Dalam benak bertanya kenapa uang APBD selalu buat bancakan dan hanya untuk pengadaan barang dan menuruti program-program kapitaliseme dengan sekian banyak produknya.

Tanpa berjabat tangan dengan siapapun diruangan itu. Akhirnya saya melangkah keluar dan sambil mendengar ada yang bilang asuuuu!!!