TANGGAL 14 Februari 2024 menjadi momen yang sangat bersejarah di Indonesia. Warga Negara Indonesia (WNI) berbondong-bondong menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS), untuk melakukan pencoblosan kertas suara pada ajang pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Diketahui pemilu tahun ini dilakukan secara serentak. Oleh sebab itu masyarakat melakukan pencoblosan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota. Semuanya tertera pada kertas suara yang memiliki warna berbeda.
Dengan “metode seretak” itulah membuat penghitungan suara yang dilakukan oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) menjadi sangat menguras energi dan memakan waktu.
Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2023 disebutkan bahwa surat suara merupakkan salah satu perlengkapan pemungutan suara yang digunakan pemilih untuk memberikan suara pada Pemilu 2024.
Pada kertas itu seluruh calon DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, dari berbagai partai dan non partai tertera lengkap.
Walhasil pada saat dilakukan penghitungan suara, petugas KPPS harus membuka lipatan kertas yang berlipat-lipat, memeriksa hasil coblosan secara detail dan meneliti di setiap kolom calon, serta melipat kembali dengan rapi untuk diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat.
Fakta di lapangan, seluruh TPS melakukan penghitungan ratusan bahkan ribuan surat suara secara nonstop, di bawah tekanan deadline. Sebab, sesuai aturan KPU, batas akhir hasil penghitungan harus diserahkan Kamis 15 Februari 2024 pukul 17.00.
Situasi inilah yang membuat para petugas KPPS kewalahan. Banyak petugas yang tumbang. Bahkan, ada beberapa petugas KPPS yang meninggal dunia. Memang banyak faktor penyebab kematian petugas KPPS. Namun salah satu indikasinya karena faktor kelelahan.
Kita ambil contoh di Kota Bandung. Dinkes setempat mencatat terdapat 183 petugas yang mengalami kelelahan. Sebagian ditangani di Puskesmas dan rumah sakit terdekat untuk dilakukan tindakan lanjutan.
Sementara, anggota KPPS yang meninggal dunia tercatat setidaknya terjadi di Pidde, Langkat, Seram Timur, Sukabumi, Madiun, Jakarta, Bogor, Klaten, Banten, Medan, dan lainnya. Semoga tidak lagi bertambah.
Evaluasi Menyeluruh
Ini menjadi presenden buruk di riuh pesta demokrasi. Kabar duka ini tidak senyaring kemenangan dan kekalahan para calon presiden dan juga konstelasi politik pasca-quick count.
Berdasarkan kondisi riil di lapangan, rasanya KPU perlu melakukan beberapa tindakan antisipasi agar tidak ada lagi korban nyawa di kemudian hari.
Pertama, memperketat selesai para petugas KPPS baik melalui tes kesehatan dan batas usia tertentu, sehingga benar-benar siap menghadapi tugas berat yang menuntut ketelitian dan ketepatan.
Kedua, menyertakan asuransi memadai bagi petugas, sehingga pemenuhan kebutuhannya bisa lebih aman.
Ketiga, pendampingan petugas medis di TPS bagi petugas KPPS.
Keempat, penghitungan suara menggunakan teknologi. Sehingga bisa lebih efisien waktu, tetapi valid. Bukan sebagai ajang untuk bermain angka.
Tidak ada yang berharap jatuhnya korban nyawa di pesta rakyat. Tentunya kita ingin semua berjalan dengan aman damai dan selamat.
Selamat jalan petugas KPPS yang gugur dalam tugas negara. Semoga semua amal ibadah dapat diterima di sisi-Nya. Aamiin.